Peran Ahli Gizi dalam Formulasi Makanan
Peran Ahli Gizi dalam
Formulasi Makanan
Bagi
ahli gizi, pandangan TA Edison tentang gizi (The doctor of the future will give
no medication, but will interest his patients in the care of the human frame,
diet and the cause and prevention of disease) dan Hippocrates (Let your food be
your medicine and your medicine be your food) bukan merupakan hal yang asing.
Semenjak menginjakkan kaki pertama kali di bangku kuliah mahasiswa gizi sudah
didoktrin motto Svastha Harena, artinya sehat melalui makanan. Dewasa ini
muncul slogan gizi kontemporer YAWYE (You are what you eat). Berdasarkan
hal-hal tersebut, jelaslah bahwa menurut filosofi dasarnya, bagi ahli gizi
makanan merupakan “senjata” untuk memerangi masalah gizi dan kesehatan terkait.
Pengejawantahan
semangat memerangi masalah gizi dalam praktek dilakukan dengan memformulasikan
makanan yang bermutu, aman dan mujarab (potent). Formulasi adalah rangkaian
kegiatan untuk merumuskan kebutuhan gizi spesifik penderita masalah gizi,
memilih bahan-bahan makanan yang berkhasiat, dan kemudian menentukan proses pengolahan,
distribusi serta penyajian yang tepat. Peran ahli gizi dalam formulasi makanan
jelas tertuang dalam SK No. 23/KEP/M.PAN/4/2001-07-26 tentang Jabatan
Fungsional Nutrisionis. Dalam peraturan tersebut ahli gizi harus melakukan
pengawasan mutu makanan termasuk PMT, secara rinci meliputi standard resep,
standard menu, keamanan dan cita rasa[1]. Dasar yuridis inilah yang mewajibkan
ahli gizi untuk menguasai strategi formulasi makanan. Bentuk sederhana
formulasi makanan adalah menyusun menu sehari, sedangkan bentuk yang lebih
kompleks berupa pembuatan produk makanan yang memiliki daya awet lebih lama dan
jangkauan distribusi lebih luas.
Kelahiran
produk makanan-makanan yang beredar di pasar dewasa ini tidak terlepas dari
peran ilmu gizi dan atau keberadaan ahli gizi yang dalam industri makanan
pabrikan, dimana tugas ahli gizi adalah menentukan komposisi zat gizi dalam
suatu produk. Ahli gizi memang memiliki tanggung jawab dalam produksi makanan.
Puluhan atau bahkan ratusan produk makanan yang beredar, dengan target khusus
golongan rawan gizi maupun masyarakat umum, telah diformulasikan dengan
menggunakan prinsip-prinsip ilmu gizi. Sekedar menyebut contoh adalah; produk
susu dilengkapi probiotik, ARA, DHA untuk balita, formula makanan seimbang untuk
anak susah makan, susu tinggi kalsium untuk manula, formula weight reduction,
makanan khusus diabetes dan lain-lain.
Dalam
setting klinis, formulasi produk gizi terlihat dari munculnya medical foods,
baik yang berupa nutritionally complete/incomplete, formula penyakit metabolik
dan larutan rehidrasi oral. Beberapa jenis formula enteral dapat diadopsi
dibuat di rumah sakit (hospital made). Adopsi teknologi ini sangat penting
mengingat situasi dan kondisi setempat yang harus menyesuaikan dengan kondisi sosial
ekonomi pasien sebagai konsumen dan menurunkan keberpihakan kepada industri
pabrikan, dan terlebih penting untuk meningkatkan pamor pelayanan gizi
paripurna. Inovasi produk seperti agar-agar tinggi albumin, sirup albumin,
kapsul albumin, kapsul minyak perawan, dan sebagainya merupakan formula yang
tidak sulit dibuat dengan menggunakan sumber daya lokal.
Pemanfaatan
sumber daya lokal (bahan makanan, teknoogi, ketrampilan) merupakan strategi
kunci formulasi produk sebagaimana dianjurkan WHO/UNICEF/SCN dalam rangka
menjaga kelangsungan produksi makanan dalam penanganan masalah gizi. Pengalaman
WHO/UNICEF/SCN, menunjukkan bahwa pembuatan makanan siap saji (ready-to-use
therapeutic food - RUTF) untuk penanganan kasus malnutrisi berat yang diformulasikan
secara lokal adalah sangat efektif. Adopsi RTUF untuk kepentingan pemecahan
masalah gizi di Indonesia dapat berupa pembuatan modisco instan yang mempunyai
nilai gizi setara dengan formula F-100. Bentuk lain yang dapat dikembangkan
adalah pembuatan modifikasi modisco berbasis kacang-kacangan sebagai pengganti
susu, seperti modisco kedelai dan modisco kecambah.
Untuk
masyarakat umum, makanan bernuansa kesehatan dapat diformulasikan dengan
membuat cookies tinggi serat, bakpao tinggi karoten, saus tinggi lycopene,
selai kaya MCT, berbagai produk lidah buaya[8], jelly drink kaya serat,
effervescent berbagai buah, dan lain-lainnya.
Kesimpulannya
bahwa sesuai dengan kodratnya ahli gizi mempunyai tanggung jawab
memformulasikan makanan kesehatan sebagai upaya untuk menanggulangi
permasalahan gizi maupun upaya pencegahannya. Sumber daya lokal merupakan kunci
keberhasilan dari strategi formulasi makanan-makanan kesehatan.
Sumber:
1.
SK No. 23/KEP/M.PAN/4/2001-07-26 tentang Jabatan
Fungsional Nutrisionis. 2001.
2.
Gilsenan, M., Nutrition in Food Industry, K. Yohanes,
Editor. 2006: UK.
3.
Cody, M.M. and M. Keith, Food Safety for
Professionals: A Reference and Study Guide. 1991, Chicago: The American
Dietetic Association.
4.
Gatchell, V., V. Forsythe, and P.-R. Thomas. The
Sustainability of Community-based Therapeutic Care (CTC) in Non-acute Emergency
Contexts. in Informal Consultation to discuss The Community-based Management of
Severe Malnutrition. 2005. Geneva: WHO, UNICEF, SCN.
5.
Manary, M.J. Local Production and Provision of
Ready-to-use Therapeutic Food for The Treatment of Severe Childhood
Malnutrition. in Informal Consultation to discuss The Community-based
Management of Severe Malnutrition. 2005. Geneva: WHO, UNICEF, SCN.
6.
WHO, UNICEF and SCN Informal Consultation on
Community-Based Management of Severe Malnutrition in Children. 2005: Geneva.
7.
Astutik, I.D. and Y. Kristianto. Formulasi Cookies
untuk Diet Rendah Energi dan Tinggi Serat. in Kongres Nasional dan Kursus
Penyegar Ilmu Gizi PERSAGI. 2005. Bali: PERSAGI In Press.
8.
Kristianto,
Y., Olahan Lidah Buaya. 2006, Surabaya: Trubus Agrisarana.
Komentar
Posting Komentar